Minggu, 01 Maret 2009

Penantian dan Harapan

Oleh AHMAD ARIF dan C WAHYU HARYO PS

Diunduh dari Harian Kompas, Jumat, 23 Januari 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/23/0208229/penantian.dan.harapan

Dari Gerbang Lintas Batas Entikong, perjalanan Santi memasuki Malaysia bermula. Ke Entikong pula, Santi kembali dari Malaysia—negara jiran yang memberinya kenangan pahit.
Kamis, 21 Agustus 2008, pukul 12.15 waktu setempat. Mobil Konsulat Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI) di Kuching tiba di Kantor LSM Anak Bangsa di Entikong, membawa 23 tenaga kerja Indonesia yang dipulangkan. Santi ada dalam rombongan itu.
”Ketika dia baru datang ke Entikong, tubuhnya lemah. Matanya sayu,” kata Rasinah, Direktur LSM Anak Bangsa. Sejak didirikan oleh Arsinah pada 14 Januari 2004, LSM Anak Bangsa telah menjadi persinggahan korban deportasi yang dikirim oleh Konjen RI di Kuching, sebelum dipulangkan ke kampung halaman masing-masing.
”Saya sudah biasa menampung TKI. Ada yang sampai gila, tubuh penuh luka, tangan atau kaki patah. Santi juga depresi, tapi anak ini kuat. Dia bertekad mencari pelaku yang menghancurkan masa depannya,” kata Arsinah. Pada hari itu juga Santi melaporkan kisahnya pada Polsek Entikong.
”Kami lalu memburu orang bernama Udin, yang disebut-sebut Santi sebagai orang yang membawanya ke perbatasan dan menyerahkannya kepada Helen. Banyak nama Udin di sini,” kata Kapolsek Entikong Ajun Komisaris Miko Indrayana.
Hari demi hari berlalu sangat panjang dan melelahkan bagi Santi. Ancaman dan teror diterima Santi. Teror juga dialami Rasinah, yang menampung Santi di rumahnya yang sekaligus rumah singgah TKI itu.
”Suatu hari datang orang dari (penginapan) Tini Jaya ke rumah. Dia memaki-maki saya dan Santi. Pernah juga ada telepon yang mengancam agar Santi mencabut laporannya ke kantor polisi. Seorang penelepon itu mengaku dari Mabes Polri di Jakarta. Saya tak percaya, tapi tetap saja takut,” kata Arsinah.
Penantian membuat Santi hampir putus asa. Rabu, 10 September 2008, dia sudah bersiap pulang ke Lampung. Ditemani Arsinah, dia ke Polsek Entikong untuk mencari surat jalan ke Lampung. Salah satu anggota reserse kriminalitas Polsek Entikong meminta Santi untuk menunggu sebentar.
”Kami penasaran untuk mengungkap kasus ini. Lalu anggota saya memanggil empat orang Entikong bernama ’Udin’ untuk dikenali,” kata Miko Indrayana.
”Santi langsung menjerit dan menangis sambil menunjuk salah seorang lelaki, yang ternyata bernama Nurdin itu. Dia asli Sumbawa, tapi sudah beberapa tahun terakhir di Entikong. Biasa tinggal di Tini Jaya,” tambahnya. Nurdin pun akhirnya mengaku telah menyeberangkan Santi dan tiga perempuan lain ke Malaysia pada awal Juni 2008.
Namun, Kepala Desa Entikong Markus Sofyan mengaku tak tahu dengan warganya yang bernama Nurdin itu. Markus juga terdiam saat ditanya tentang Tini Jaya. ”Saya tidak berani banyak bicara tentang mereka,” kata Markus.
Dari Nurdin, polisi lalu menemukan nama Kum Seng, atau yang dikenal Santi sebagai Chong Kum Seng, warga Malaysia.
Hari-hari melelahkan kembali dialami Santi. Dia kembali menunggu. Dan, penantiannya ternyata tidak sia-sia. Tanggal 3 Desember 2008, lelaki yang dikenal Santi bernama Kum Seng dibekuk polisi di Bandara Supadio, Pontianak. ”Dia bermaksud terbang ke Malaysia saat ditangkap,” kata Miko Indrayana.

Mata rantai
Lelaki itu, Chong Kum Seng (49), berwajah dingin. Nada bicaranya tenang dan pelan. Warga negara Malaysia, yang lahir di Bentong, Pahang, ini juga memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Singkawang atas nama M Hidayat.
”Saya baru bekerja dua tahun ini. Sejak tahun 2007 baru sekitar seratus orang yang saya kirim ke Malaysia. Di sana ada yang menampung. Untuk setiap orang yang saya kirim, saya dapat 1.700-2.500 ringgit Malaysia (sekitar Rp 5 juta-Rp 7 juta) dari agen di Malaysia,” kata Kum Seng, yang ditemui di Kantor Polres Sanggau.
Seorang mantan pemasok calon TKI ke Malaysia di Entikong—yang tak mau disebut namanya—mengaku telah mengenal Kum Seng sejak tahun 2001. ”Dia orang lama, tetapi dia bukan yang terbesar. Kalau masih mencari sendiri korbannya, tentu bukan yang paling besar kan?” kata lelaki asal Jawa ini, yang pada periode 2001 hingga 2004 biasa memasok perempuan ke Malaysia hingga 60 orang per hari.
”Pasti Kum Seng bisa memasok lebih besar lagi karena dia punya jaringan di Jakarta. Kalau saya hanya main di Kalbar saja,” kata dia.
Kum Seng mengaku membayar Rp 2 juta-Rp 3,5 juta per orang kepada para pemasok di Jakarta. ”Saya biasa mendapat perempuan dari Eka. Saya juga mendapat Santi dari Eka. Saya biasa menemui dia di Cimanggis atau Cibubur,” katanya.
Dalam pertemuan kami dengan sejumlah korban trafficking yang ditampung Konjen RI di Kuching, nama Eka juga berkali-kali disebut. Surti—sebut saja begitu—seorang korban yang berasal dari Indramayu, Jawa Barat, mengaku direkrut oleh seorang agen TKI berasal dari Jatibarang bernama Ato yang datang ke kampungnya pada Juni 2008. Dia kemudian diserahkan kepada Eka di Cimanggis.
”Eka itu orangnya kecil, cantik. Dia yang mengirim saya ke Pontianak. Saya dijanjikan bekerja sebagai pelayan restoran di Kuching,” kata Surti. Dari Pontianak Surti juga diselundupkan melalui Entikong.
”Eka diduga menjadi bagian dari sindikat perdagangan orang lintas negara, yaitu Malaysia-Indonesia,” kata Kepala Kepolisian Resor Sanggau Djoni M Siahaan.
Untuk mendapatkan korbannya, Eka dibantu jaringan yang tersebar di berbagai daerah, terutama di Jakarta, Jawa Barat, dan Lampung. Mereka menjaring korban ke kampung-kampung. Para calon korban dijanjikan bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau pelayan restoran. Sebagian anggota jaringan ini tak segan menculik untuk mendapatkan korbannya, terutama korban yang masih anak-anak.
Sindikat ini menggunakan sistem sel karena mereka terkadang tidak saling mengenal orang- orang di atasnya. ”Siapa kelompok yang menculik Santi, masih jadi tanda tanya. Di bawah Eka, banyak pelaku lain yang masih misteri. Eka kemungkinan juga memiliki banyak kaki tangan,” tambah Djoni.
Atau, mungkinkah di atas Eka ada pemain yang lebih besar lagi? Lalu, siapa Nurdin dan siapa di balik keberadaan ”penginapan” Tini Jaya?
”Ini orang yang membawa saya lewat perbatasan Entikong,” kata Surti menunjuk foto Nurdin yang kami sodorkan padanya. ”Dia membawa saya dengan sedan warna kuning, bernomor polisi Malaysia,” tambahnya.
Sepulang dari Kuching, Senin (12/1), kami lewat ke penginapan Tini Jaya. Sebuah mobil sedan warna kuning bernomor polisi Malaysia diparkir di penginapan itu.
”Penginapan Tini Jaya memang dipakai transit Santi, dan mobil di Tini Jaya itu juga yang dipakai Nurdin menyelundupkan Santi ke Tebedu. Namun, belum ada bukti kuat yang menghubungkan keterlibatan Tini—pemilik Tini Jaya—dalam kasus Santi. Sejauh ini dia masih menjadi saksi,” kata Miko Indrayana.

Pulang
Mata rantai sindikat perdagangan orang ini belum terbongkar. Polisi ditantang untuk bekerja keras menguak tabir ini. ”Saya ingin semua orang yang terlibat ditangkap. Mereka yang merusak masa depan saya,” kata Santi.
Santi tiba-tiba teringat pada Helmi. ”Di mana dia sekarang? Kasihan dia,” katanya. Kenangan pada Helmi akhir-akhir ini kerap menghantui Santi.
”Saya mau jadi polisi. Saya ingin menangani kasus trafficking,” Santi berandai-andai. Gadis cilik itu kemudian bercerita banyak tentang mimpi-mimpinya, tentang harapan-harapannya di masa mendatang.
Orang-orang yang menculiknya, menjual, memukul, dan memerkosanya ternyata tak bisa meraih jiwanya. Jiwa gadis yang berasal dari pedalaman Lampung—sekitar tujuh jam perjalanan dari Bandar Lampung—ini masih bebas berkelana. ”Saya mau pulang, mau sekolah lagi. Baju sekolah, sepatu, dan tas saya masih ketinggalan di Malaysia, tapi saya tak mau lagi ke sana,” kata Santi.

[ Kembali ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar