Diunduh dari Harian Kompas, Jumat, 23 Januari 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/23/02120899/menuju.entikong
Roda pesawat memukul landasan pacu. Santi—bukan nama sebenarnya—terbangun dari tidur panjang. Seorang gadis yang duduk di sebelahnya menjejalinya dengan tanya, ”Kenapa kita di sini? Kamu Santi, kan? Bukankah kita satu sekolah?”
Santi mengenali gadis itu sebagai Helmi, adik kelasnya di satu SLTP di Bandar lampung. Pertanyaan-pertanyaan Helmi semakin membingungkan ”bocah” usia 15 tahun ini.
Keluar dari pesawat, Santi berada di sebuah bandara yang asing. Tak ditemukannya rekam jejak perjalanannya, selain tiket pesawat Batavia Air dari Jakarta ke Pontianak bertanggal 7 Juni 2008, yang berada di kantong sakunya.
”Kenapa saya sampai di sini?” Santi mengulang pertanyaan Helmi. Sebuah tanya pada dirinya sendiri.
Gadis kecil berkulit putih itu kebingungan dan mencoba menyusun keping ingatannya. Pagi itu, 4 Juni 2008. Seperti pagi biasa, Santi menunggu angkutan umum ke sekolah. Tiba-tiba datang lima lelaki berpenutup muka. Mereka membekapnya dan langsung memasukkannya ke dalam mobil.
Waktu tiba-tiba berhenti ketika jarum suntik—yang kemungkinan obat bius—menghujam lengannya. Kemudian, hari-hari menjadi berkabut dan gelap bagi Santi, hingga pagi itu, ketika roda pesawat memukul landasan pacu Bandara Supadio di Pontianak.
Ketika mendarat di Pontianak, Santi masih memakai seragam sekolah yang dibalut sweater kuning, lengkap dengan jilbab yang biasa dipakainya. Santi dan Helmi masih dibekap bingung ketika seorang perempuan yang mengaku bernama Ana, yang sama- sama turun dari pesawat, menuntun mereka keluar dari bangunan Bandara Supadio.
Seorang lelaki paruh baya kemudian mendekat begitu mereka keluar dari pintu kedatangan. Dia bertanya, ”Mau ke mana Neng?” ”Saya mau pulang ke Lampung, tetapi hanya punya uang 50.000,” Santi menimpali.
Ana, yang sepertinya sudah mengenal lelaki itu, kemudian menggandeng Santi dan Helmi mengikuti ajakan lelaki—yang mengenalkan diri sebagai Kum Seng—untuk sarapan. Santi, Helmi, Ana, dan seorang perempuan lagi yang bernama Bunda, yang juga satu pesawat dengan mereka, kemudian meninggalkan Bandara Supadio dengan mobil Kum Seng.
”Umurnya seusia bapak saya. Awalnya, dia ramah dan seperti mau membantu kami. Tetapi, setelah di mobil, dia mulai mengancam akan membunuh kami jika tak mau menurut,” kisah Santi tentang peristiwa itu.
Kum Seng langsung membawa mereka ke Terminal Bus Batu Layang, Pontianak. Tiga lelaki sudah menunggu di sana dan langsung membawa mereka naik bus jurusan Entikong.
”Di bus kami dijaga terus. Turun di warung untuk makan dan kencing juga dikawal. Mereka mengancam akan membuang kami di hutan jika tak mau menurut,” kata dia.
Di perjalanan, Helmi bercerita kepada Santi bahwa dia diculik ketika mandi di sungai pada 4 Juni 2008 pagi. Seperti Santi, kesadarannya langsung hilang ketika dimasukkan ke dalam mobil dan jarum suntik menembus kulit lengannya.
Malam menjelang saat bus itu tiba di Entikong, semua penumpang sudah turun, kecuali Santi dan tiga perempuan lainnya. Bus itu mengantarkan keempat perempuan ini ke penginapan Tini Raharja atau yang lebih dikenal sebagai Tini Jaya di Entikong.
Seorang lelaki berwajah khas dari Indonesia bagian timur, dengan sorot mata tajam, sudah menunggu mereka. Keempat perempuan ini segera dibawa ke kamar penginapan di lantai dua.
”Awas, kalian jangan macam- macam,” ujar lelaki bernama Nurdin itu mengancam.
Keinginan untuk kabur menguat. Tetapi, Santi kehilangan daya dan keberanian. ”Saya tak tahu ada di mana. Sebelumnya tak pernah mendengar tentang Entikong. Sementara Helmi hanya menangis,” kata Santi.
Disekap
Pada Kamis siang, 8 Januari 2009, warung makan di pusat Entikong itu sepi. ”Biasanya ramai. Banyak tentara yang makan di sini,” kata seorang pelayan. Maklum saja, warung makan sekaligus penginapan itu terletak persis di sebelah Kantor Koramil Entikong dan 200 meter markas Batalyon Lintas Batas.
Kami menanyakan kepada pelayan tempat untuk menginap. Gadis belasan tahun itu mengaku tidak tahu. ”Tanya saja sama dia,” kata gadis itu menunjuk kepada lelaki yang tengah bermain tenis meja di sisi meja makan.
Tak ada papan nama penunjuk penginapan di Tini Jaya. Tak banyak yang tahu di sana ada penginapan. ”Saya baru tahu kalau di Tini Jaya ada penginapan. Saya pikir hanya warung makan,” kata Pastor John Edi, yang sudah delapan tahun bertugas di Entikong.
Lelaki itu bernama Ade, mengaku sebagai adik pemilik warung makan Tini Raharja, yang ternyata sekaligus berfungsi sebagai penginapan. Dia menyebutkan, tarif menginap sebesar Rp 40.000 semalam.
Dia membawa kami ke bagian belakang restoran, lalu naik tangga ke lantai dua. Sore itu, suasana penginapan sangat sepi. Hampir semua kamar gelap.
”Ada 18 kamar, silakan dipilih, Mas. Hanya saja, kamar mandinya di luar,” kata Ade, sambil membuka salah satu kamar di bagian depan, yang menghadap Kantor Koramil Entikong.
Kami meminta untuk dibawa ke deretan kamar yang bersebelahan dengan kamar mandi. ”Kenapa kamar yang itu?” tanya Ade.
Kami beralasan ingin dekat dengan kamar mandi. Empat kamar saling berhadapan, digembok dari luar. Ade mencoba membuka gembok salah satu kamar itu. Namun, pintu tetap tak bisa dibuka.
”Pintu-pintu di sini banyak yang rusak. Kadang ada pengunjung yang merusak daun pintu dari dalam,” kata Ade.
Ketika ditanya, mengapa dirusak, Ade hanya bungkam sambil geleng kepala. Pintu kamar itu terbuka setelah Ade mencongkelnya. Di dalam kamar berukuran 3 x 3 meter itu ada satu ranjang ukuran besar, lampu yang redup, dan kipas angin yang suaranya berderak saat dinyalakan.
Di salah satu kamar itulah Santi pernah diinapkan selama semalam sebelum diseberangkan ke Malaysia. ”Saya masih ingat, kamarnya dekat kamar mandi. Digembok dari luar. Kami harus mengetuk pintu kalau mau kencing,” kisah Santi.
Perlintasan
Bagi Santi, Entikong memang kata asing. Tetapi, bagi para agen-agen TKI, Entikong—masuk di wilayah Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat—adalah nama yang sangat dikenal selain Nunukan di Kalimantan Timur. Entikong adalah gerbang menuju Malaysia. Di kota ini, penginapan dan tempat penampungan calon TKI tumbuh menjamur. Pemilik penginapan tak peduli siapa tamunya.
Pukul 22.00 kami datang ke Hotel Bintang Kiki, hotel terbaik di Entikong. Saat kami meminta kamar, resepsionis langsung memberi kunci dan menyebut tarifnya Rp 110.000 per malam. Dia sama sekali tak meminta identitas, menanyakan nama, maupun alamat.
”Dulu, di dekat rumah saya, ada seorang penampung TKI, tiap minggu ada puluhan TKI yang datang. Tahun 2005 dia ditangkap karena ketahuan menyelundupkan anak di bawah umur ke Malaysia,” kata Kepala Desa Entikong Markus Sopyan. ”Penginapan lain yang seperti itu masih banyak. Kami belum punya data pasti,” kata Markus.
Entikong, adalah surga bagi pelaku trafficking. Di kota ini, sebagian korban diinapkan sebelum kemudian dijual ke Malaysia. Santi adalah salah satunya....
Santi mengenali gadis itu sebagai Helmi, adik kelasnya di satu SLTP di Bandar lampung. Pertanyaan-pertanyaan Helmi semakin membingungkan ”bocah” usia 15 tahun ini.
Keluar dari pesawat, Santi berada di sebuah bandara yang asing. Tak ditemukannya rekam jejak perjalanannya, selain tiket pesawat Batavia Air dari Jakarta ke Pontianak bertanggal 7 Juni 2008, yang berada di kantong sakunya.
”Kenapa saya sampai di sini?” Santi mengulang pertanyaan Helmi. Sebuah tanya pada dirinya sendiri.
Gadis kecil berkulit putih itu kebingungan dan mencoba menyusun keping ingatannya. Pagi itu, 4 Juni 2008. Seperti pagi biasa, Santi menunggu angkutan umum ke sekolah. Tiba-tiba datang lima lelaki berpenutup muka. Mereka membekapnya dan langsung memasukkannya ke dalam mobil.
Waktu tiba-tiba berhenti ketika jarum suntik—yang kemungkinan obat bius—menghujam lengannya. Kemudian, hari-hari menjadi berkabut dan gelap bagi Santi, hingga pagi itu, ketika roda pesawat memukul landasan pacu Bandara Supadio di Pontianak.
Ketika mendarat di Pontianak, Santi masih memakai seragam sekolah yang dibalut sweater kuning, lengkap dengan jilbab yang biasa dipakainya. Santi dan Helmi masih dibekap bingung ketika seorang perempuan yang mengaku bernama Ana, yang sama- sama turun dari pesawat, menuntun mereka keluar dari bangunan Bandara Supadio.
Seorang lelaki paruh baya kemudian mendekat begitu mereka keluar dari pintu kedatangan. Dia bertanya, ”Mau ke mana Neng?” ”Saya mau pulang ke Lampung, tetapi hanya punya uang 50.000,” Santi menimpali.
Ana, yang sepertinya sudah mengenal lelaki itu, kemudian menggandeng Santi dan Helmi mengikuti ajakan lelaki—yang mengenalkan diri sebagai Kum Seng—untuk sarapan. Santi, Helmi, Ana, dan seorang perempuan lagi yang bernama Bunda, yang juga satu pesawat dengan mereka, kemudian meninggalkan Bandara Supadio dengan mobil Kum Seng.
”Umurnya seusia bapak saya. Awalnya, dia ramah dan seperti mau membantu kami. Tetapi, setelah di mobil, dia mulai mengancam akan membunuh kami jika tak mau menurut,” kisah Santi tentang peristiwa itu.
Kum Seng langsung membawa mereka ke Terminal Bus Batu Layang, Pontianak. Tiga lelaki sudah menunggu di sana dan langsung membawa mereka naik bus jurusan Entikong.
”Di bus kami dijaga terus. Turun di warung untuk makan dan kencing juga dikawal. Mereka mengancam akan membuang kami di hutan jika tak mau menurut,” kata dia.
Di perjalanan, Helmi bercerita kepada Santi bahwa dia diculik ketika mandi di sungai pada 4 Juni 2008 pagi. Seperti Santi, kesadarannya langsung hilang ketika dimasukkan ke dalam mobil dan jarum suntik menembus kulit lengannya.
Malam menjelang saat bus itu tiba di Entikong, semua penumpang sudah turun, kecuali Santi dan tiga perempuan lainnya. Bus itu mengantarkan keempat perempuan ini ke penginapan Tini Raharja atau yang lebih dikenal sebagai Tini Jaya di Entikong.
Seorang lelaki berwajah khas dari Indonesia bagian timur, dengan sorot mata tajam, sudah menunggu mereka. Keempat perempuan ini segera dibawa ke kamar penginapan di lantai dua.
”Awas, kalian jangan macam- macam,” ujar lelaki bernama Nurdin itu mengancam.
Keinginan untuk kabur menguat. Tetapi, Santi kehilangan daya dan keberanian. ”Saya tak tahu ada di mana. Sebelumnya tak pernah mendengar tentang Entikong. Sementara Helmi hanya menangis,” kata Santi.
Disekap
Pada Kamis siang, 8 Januari 2009, warung makan di pusat Entikong itu sepi. ”Biasanya ramai. Banyak tentara yang makan di sini,” kata seorang pelayan. Maklum saja, warung makan sekaligus penginapan itu terletak persis di sebelah Kantor Koramil Entikong dan 200 meter markas Batalyon Lintas Batas.
Kami menanyakan kepada pelayan tempat untuk menginap. Gadis belasan tahun itu mengaku tidak tahu. ”Tanya saja sama dia,” kata gadis itu menunjuk kepada lelaki yang tengah bermain tenis meja di sisi meja makan.
Tak ada papan nama penunjuk penginapan di Tini Jaya. Tak banyak yang tahu di sana ada penginapan. ”Saya baru tahu kalau di Tini Jaya ada penginapan. Saya pikir hanya warung makan,” kata Pastor John Edi, yang sudah delapan tahun bertugas di Entikong.
Lelaki itu bernama Ade, mengaku sebagai adik pemilik warung makan Tini Raharja, yang ternyata sekaligus berfungsi sebagai penginapan. Dia menyebutkan, tarif menginap sebesar Rp 40.000 semalam.
Dia membawa kami ke bagian belakang restoran, lalu naik tangga ke lantai dua. Sore itu, suasana penginapan sangat sepi. Hampir semua kamar gelap.
”Ada 18 kamar, silakan dipilih, Mas. Hanya saja, kamar mandinya di luar,” kata Ade, sambil membuka salah satu kamar di bagian depan, yang menghadap Kantor Koramil Entikong.
Kami meminta untuk dibawa ke deretan kamar yang bersebelahan dengan kamar mandi. ”Kenapa kamar yang itu?” tanya Ade.
Kami beralasan ingin dekat dengan kamar mandi. Empat kamar saling berhadapan, digembok dari luar. Ade mencoba membuka gembok salah satu kamar itu. Namun, pintu tetap tak bisa dibuka.
”Pintu-pintu di sini banyak yang rusak. Kadang ada pengunjung yang merusak daun pintu dari dalam,” kata Ade.
Ketika ditanya, mengapa dirusak, Ade hanya bungkam sambil geleng kepala. Pintu kamar itu terbuka setelah Ade mencongkelnya. Di dalam kamar berukuran 3 x 3 meter itu ada satu ranjang ukuran besar, lampu yang redup, dan kipas angin yang suaranya berderak saat dinyalakan.
Di salah satu kamar itulah Santi pernah diinapkan selama semalam sebelum diseberangkan ke Malaysia. ”Saya masih ingat, kamarnya dekat kamar mandi. Digembok dari luar. Kami harus mengetuk pintu kalau mau kencing,” kisah Santi.
Perlintasan
Bagi Santi, Entikong memang kata asing. Tetapi, bagi para agen-agen TKI, Entikong—masuk di wilayah Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat—adalah nama yang sangat dikenal selain Nunukan di Kalimantan Timur. Entikong adalah gerbang menuju Malaysia. Di kota ini, penginapan dan tempat penampungan calon TKI tumbuh menjamur. Pemilik penginapan tak peduli siapa tamunya.
Pukul 22.00 kami datang ke Hotel Bintang Kiki, hotel terbaik di Entikong. Saat kami meminta kamar, resepsionis langsung memberi kunci dan menyebut tarifnya Rp 110.000 per malam. Dia sama sekali tak meminta identitas, menanyakan nama, maupun alamat.
”Dulu, di dekat rumah saya, ada seorang penampung TKI, tiap minggu ada puluhan TKI yang datang. Tahun 2005 dia ditangkap karena ketahuan menyelundupkan anak di bawah umur ke Malaysia,” kata Kepala Desa Entikong Markus Sopyan. ”Penginapan lain yang seperti itu masih banyak. Kami belum punya data pasti,” kata Markus.
Entikong, adalah surga bagi pelaku trafficking. Di kota ini, sebagian korban diinapkan sebelum kemudian dijual ke Malaysia. Santi adalah salah satunya....
[ Kembali ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar