Minggu, 01 Maret 2009

Menanti Hari Pembebasan

Oleh AHMAD ARIF dan C WAHYU HARYO PS

Diunduh dari Harian Kompas, Jumat, 23 Januari 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/23/02100521/menanti.hari.pembebasan

Hari hampir malam ketika Santi dan ketiga perempuan lainnya sampai ke Kuching. ”Saya dibawa Helen, dan Helmi dibawa oleh anak buahnya yang lain,” kisah Santi. Itulah terakhir kali ia melihat Helmi. ”Helmi menangis saat dibawa,” kata Santi.
Santi langsung dibawa ke salah satu gedung di kompleks ruko Chong Lin Park. Seorang ”tamu” telah menunggu Santi di sana.
Santi disodori tank top warna merah jambu. Sebuah pukulan mendarat di punggungnya ketika dia menolak memakainya.
”Ada tamu yang menunggu. Jadi cepatlah,” bentak Helen.
Santi tetap menolak. Dia diikat, lalu diperkosa sang tamu. ”Saya dengar dia sudah membayar 5.000 ringgit kepada Helen untuk bisa memerkosa saya,” kata anak usia 15 tahun itu, dengan mata berkaca-kaca.
Minggu malam, 8 Juni 2008, malam itu adalah hari pertama bagi Santi di Kuching, Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Hari pertama yang tak pernah bisa ia lupakan. Malam-malam berikutnya dilalui Santi dengan melayani hingga 10 tamu tanpa diberi hari libur.
”Saya tidak pernah dibayar. Hanya kadang mendapat uang tip dari tamu. Saya menghitung hari, meminta keajaiban kepada Tuhan untuk dibebaskan dari tempat itu,” kata Santi.
Beberapa kali dia memohon pertolongan kepada pelanggan yang kelihatan bersimpati. Dia bermaksud meminjam telepon seluler untuk menelepon ibu atau ayahnya di Lampung.
”Semua menolak, bahkan oleh beberapa pelanggan yang saya tahu dia orang Indonesia. Kadang ada juga pelanggan polisi Malaysia, saya cerita tentang nasib saya. Mereka diam saja. Mungkin mereka tak percaya atau sudah diberi uang oleh Helen,” kata Santi.
Di ruko tiga lantai itu, menurut Santi, terdapat tak kurang dari 50 perempuan. Semuanya dari Indonesia. Di lantai bawah ada etalase untuk memajang perempuan-perempuan itu. Tamu kemudian membawa pergi setelah memilih pasangan, sebagian menyewa kamar di lantai tiga.
Santi kemudian bersiasat. Dia pun mencoba menurut kemauan para samseng, istilah setempat untuk menyebut tukang pukul. ”Saya berbaik-baik dan terkadang melayani dia. Akhirnya saya diberi handphone,” kata dia.

Pembebasan
Setelah memperoleh telepon genggam itu, semangat hidup Santi terpompa. Santi menelepon keluarganya. Dia juga meminjamkan teleponnya kepada korban trafficking lainnya, Lusi (37)—bukan nama sebenarnya— yang mengaku memiliki saudara di Departemen Luar Negeri.
”Keluarga Lusi memiliki saudara di Kedutaan Besar RI di Perth, Australia. Seorang staf Kedubes RI di Perth kemudian menelepon kami di Konsulat Kuching. Dari sanalah kami mendapat info tentang Santi dan beberapa perempuan asal Indonesia yang disekap dan dijadikan pelacur,” kata Komisaris Hendra Wirawan, Perwakilan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di Kuching.
Hari itu juga Hendra menemui rekannya di Kepolisian Diraja Malaysia. Sang komandan sendiri yang turun tangan menggelar operasi itu. ”Operasi itu kami lakukan dengan sangat rahasia untuk mencegah bocornya informasi ke sindikat penculik,” kata Hendra.
Rabu, 16 Juli 2008, pukul 13.00, beberapa Polisi Diraja Malaysia dan Hendra mendatangi salah satu ruko di Kawasan Chong Lin Park di Jalan Tabuan, Kuching. Santi ditemukan di dalam kamar itu dengan Lusi (37) dan Rin (17). Namun, Helen kabur melalui atap.
Jalan menuju kebebasan, seperti ditempuh Santi, adalah keajaiban. ”Mencari perempuan korban trafficking seperti mencari jarum di tumpukan jerami,” ujar Hendra.
Sindikat perdagangan orang ini sangat rapi. Perempuan yang mereka pekerjakan hampir tak memiliki akses untuk bebas. ”Ke mana-mana kami dikawal samseng. Bahkan, saat dibawa tamu ke hotel, samseng-samseng itu menunggu di lobi. Lagi pula kami mau kabur ke mana? Kami tak punya paspor,” kata Santi.
Sari (21)—juga bukan nama sebenarnya—memberi kesaksian serupa. Enam bulan dia disekap di salah satu gedung di Lorong I Jalan Kepayang, Taman Ros, Kuching. ”Kami dipaksa menjadi pelacur. Samseng selalu mengawasi kami. Bahkan, ketika kami tengah melayani tamu, mereka menunggu di depan pintu,” kata dia.
Sari dan tujuh perempuan Indonesia lainnya bebas setelah polisi Malaysia menggerebek tempat penyekapan mereka pada Jumat (9/1). Timbalan Pesuruhjaya Polis Serawak SAC II Datuk Hamzah Taib dalam konferensi pers yang dikutip oleh harian Eastern Times dan The Borneo Post, Sabtu, mengatakan, korban- korban itu dipaksa menjadi pelacur dalam kurun empat bulan hingga setahun. Kedelapan korban ditemukan disekap di kamar kecil.
Dua lelaki Malaysia berusia 27 dan 28 tahun juga ditangkap dalam penggerebekan itu. Mereka dipercaya sebagai anggota sindikat perdagangan manusia antarnegara.
”Ini merupakan kasus pertama sindikat pelacuran melibatkan warga asing yang terungkap tahun ini atau ketiga sejak Human Trafficking Act di negara ini ditandatangani pada tahun 2007,” kata Datuk Hamzah Taib.

Chong Lin Park
Minggu pagi, 11 Januari 2009. Kawasan Chong Lin Park di Jalan Tabuan itu sepi. Mobil-mobil diparkir di halaman gedung. Ada 11 gedung yang terpisah di kompleks ini. Semuanya berlantai tiga. Beberapa poster menawarkan jasa pijat dari Indonesia tertempel di salah satu dinding bangunan.
Di salah satu gedung inilah Santi pernah disekap dan dilacurkan. Seorang lelaki mengawasi kami penuh selidik begitu kami turun dari mobil dan menuju bangunan lantai tiga di bagian pojok belakang kompleks pertokoan ini. Lorong tangga menuju bangunan di lantai tiga itu sunyi dan temaram.
Tangga dari beton itu berujung pada dua pintu berterali besi yang digembok, melapis pintu kayu yang juga terkunci rapat. Dua sandal berada di depan pintu. Suara-suara dari dalam bangunan sayup terdengar.
”Itu bekas linggis kami saat penggerebekan Agustus 2008,” kata Hendra menunjuk bekas goresan di pintu besi. ”Entahlah, siapa penghuni apartemen itu sekarang. Mungkin Helen kembali atau mungkin juga ada penghuni baru,” kata Hendra.
Kami bergegas pergi. Mobil sedan warna hitam terus menguntit kami hingga kami keluar dari kompleks itu dan meluncur di Jalan Tabuan.
”Masih banyak ’anak-anak’ dari Indonesia di sana. Mereka juga disekap, tak bisa keluar,” kata-kata Santi itu terngiang di kepala kami saat meninggalkan Chong Lin Park pagi itu.
Menurut Hendra, tak hanya di Chong Ling Park, korban-korban trafficking juga tersebar di banyak tempat lain di Kuching. Ribuan perempuan Indonesia diduga terjerat sindikat perdagangan manusia antarnegara. Mereka disekap dan dilacurkan di sudut- sudut gelap kota-kota di Malaysia....

[ Kembali ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar