Minggu, 08 Maret 2009

Remaja Jadi Target

Jakarta dan Sekitarnya Rawan Jadi Persinggahan
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 23 Januari 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/23/01310897/remaja.jadi.target

Jakarta, Kompas - Praktik perdagangan manusia (human trafficking) semakin mengkhawatirkan dan nekat. Sindikat kejahatan ini menggunakan beragam cara, termasuk dengan menculik. Anak-anak dan remaja merupakan target empuk yang senantiasa disasar sindikat.

Peristiwa yang belakangan dibongkar oleh polisi adalah kasus yang menimpa Santi (15)—bukan nama sebenarnya—yang diculik di kampungnya di Lampung lalu dijual ke Malaysia. Oleh anggota sindikat, Santi dijadikan pekerja seks komersial tanpa dibayar di kawasan Cong Lin Park, Kuching, Malaysia.

Arsinah Sumetro, Direktur Anak Bangsa—lembaga yang menangani para korban—mengatakan, penculikan merupakan salah satu modus yang digunakan sindikat untuk menjerat korban remaja. Arsinah yang mendampingi Santi bercerita, Santi yang masih SMP itu diculik dan dibius saat menunggu angkutan umum ke sekolah pada 4 Juni 2008. Santi lalu dibawa ke Jakarta, lanjut ke Pontianak, lalu masuk ke Malaysia melalui kawasan perbatasan di Entikong, Kalimantan Barat. Santi akhirnya bebas dalam operasi gabungan polisi Malaysia dan perwakilan Polri di Kuching, Desember 2008.

Direktur I Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Brigadir Jenderal (Pol) Badrodin Haiti menyebutkan, polisi telah menangkap dua tersangka dalam kasus Santi, yaitu warga negara Malaysia, Chong Kum Seng (50), dan Nurdin, warga negara Indonesia (WNI). Jumat (9/1), polisi Malaysia juga berhasil menggerebek tempat penyekapan di Kuching, lalu membebaskan delapan perempuan WNI yang dijadikan pekerja seks komersial.

Badrodin mengungkapkan, berkas perkara Kum Seng tersebut telah dilimpahkan tahap pertama ke kejaksaan. Kum Seng memasok perempuan-perempuan yang diperolehnya ke Helen (laki-laki), warga negara Malaysia, yang masih buron. Kum Seng mengaku sejauh ini sudah menjual 104 orang kepada Helen.

Polisi masih mengejar pelaku lainnya, di antaranya perempuan berinisial E, yang diduga bermarkas di Kota Depok, Jawa Barat. E bagian dari jaringan Kum Seng, yang kerap memasok perempuan untuk dijadikan pekerja seks komersial di Malaysia. Menurut Badrodin, Kum Seng mengaku sejauh ini sudah menerima 65 perempuan dari E.

”Namun, hingga kini polisi belum menangkap perempuan yang penginapan miliknya dijadikan tempat penyekapan sementara di Entikong. Penginapan itu berada di sebelah kantor Koramil Entikong, cuma 200 meter dari Markas Batalyon Lintas Batas,” kata Arsinah.

Jakarta

Arsinah mengatakan, salah satu tempat singgah utama perdagangan manusia adalah Jakarta dan sekitarnya. Jika korban diperoleh dengan diculik, mereka akan disekap sementara di Jakarta dan sekitarnya.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira mengatakan, kejahatan perdagangan manusia juga didukung oleh kacaunya administrasi publik. (SF)

[ Kembali ]

Pluralisme Agama dan "Kebaikan Bersama"

Diunduh dari Harian KOMPAS,Jumat, 27 Februari 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/27/0036165/pluralisme.agama.dan.kebaikan.bersama

Oleh Benyamin F Intan

Pluralisme adalah kenyataan sekaligus persoalan. Bagaimana caranya keberagaman agama membawa kemaslahatan dan bukan menjadi persoalan bangsa?

Pertanyaan itu ditujukan kepada saya saat menjadi narasumber diskusi CSIS, merayakan HUT ke-75 Harry Tjan Silalahi (13/2/2009).

Pertanyaan itu juga relevan, mengingat kebebasan beragama di Tanah Air kian tidak kondusif. Dalam refleksi awal 2009, ”Merajut Ulang Keiindonesiaan”, Syafii Anwar dari ICIP melaporkan, angka kekerasan kebebasan berkeyakinan tahun 2008 naik 100 persen menjadi 360 pelanggaran.

SETARA Institute mencatat, dari 367 pelanggaran kebebasan beragama tahun 2008, 88 adalah tindak kriminal warga dan 91 berupa intoleransi individu. Penghargaan terhadap realitas pluralisme menipis. Hal ini patut disesalkan, mengingat pluralisme suatu keniscayaan menghadirkan negara demokratis.

Salah kaprah

Penolakan terhadap pluralisme agama sering disebabkan kesalahpahaman atas konsep pluralisme. Pluralisme dipahami seolah sama dengan relativisme yang menganggap semua agama sama. Pola pikir pluralisme indiferen ini tidak menghargai keunikan beragama. Aspek keagamaan hakiki seperti kepercayaan religius yang membedakan agama satu dari yang lain tidak diperlakukan secara wajar. Hans Kung menyebutnya pluralisme ”murahan” tanpa diferensiasi dan tanpa identitas. Melaluinya, agama-agama dinisbikan, mengarah pada sinkretisme agama.

Beda dari indiferen, pluralisme nonindiferen mengakui dan menghargai keberagaman agama. Pola pikir ini menganggap serius aneka perbedaan antaragama. Paradigma ini menentang pereduksian nilai-nilai luhur agama, apalagi meleburkan satu agama dengan agama lain.

Seorang pluralis tidak harus menganut pluralisme indiferen. Penganut pluralisme indiferen pasti pluralis, tetapi pluralis belum tentu penganut pluralisme indiferen. Sebaliknya, menolak pluralisme indiferen tidak harus dicap antipluralis. Sejauh menganut pluralisme nonindiferen, orang itu pluralis. Namun, jika pluralisme nonindiferen ini pun ditolak, orang itu antipluralis.

Komunitas merdeka

Umum mengetahui, penolakan pluralisme nonindiferen, ketidaksanggupan menerima kehadiran ”yang lain”, menjadi pemicu utama konflik agama. Di sini masalah keberagaman diselesaikan dengan ”hukum rimba” melalui prinsip live and let die. Perbedaan dihilangkan dengan membidik hak hidup ”yang lain”, yang lemah dipaksa menuruti kehendak yang kuat.

Kebebasan menjadi barang mahal, terenggut arogansi dan dominasi pihak kuat. Dalam kondisi itu, ”komunitas merdeka” (community of freedom) menjadi prasyarat hadirnya pluralisme agama. Paradigma komunitas merdeka menjamin kebebasan agama pertama-tama dalam bentuk ”imunitas negatif” (negative immunity), di mana agama hidup damai melalui sikap live and let live (David Hollenbach, The Global Face of Public Faith, 142).

Dalam pola demikian, perbedaan diterima dengan terpaksa. Ada toleransi, tetapi amat minim. Penerimaan satu sama lain belum sepenuh hati, genuinitasnya diragukan. Ada hidup bersama, tetapi tak ada kebersamaan. Ada sapaan, tapi tak ada interaksi.

Sikap hidup seperti ini tidak cukup. Hidup bersama bukan hanya sosial dan praktis, tetapi juga harus secara ”teologis”. Toleransi bukan sekadar menerima kebera- gaman, tetapi bagaimana agar keberagaman membawa manfaat.

Dengan demikian, komunitas merdeka juga harus mencakup ”imunitas positif” (positive immunity), di mana agama bebas memengaruhi kehidupan publik dengan nilai-nilai universal yang diyakini (David Hollenbach, The Global Face of Public Faith, 143).

”Kebaikan bersama”

Peran publik agama harus dilakukan bersama dalam dialog membentuk ”kebaikan bersama” (common good). Dari tiap kelompok agama diperlukan ”kebajikan agung” (very great virtues), mencakup semangat kerja sama (spirit of cooperation), adil (fair-mindedness), kebernalaran (reasonableness), dan toleransi (John Rawls, Overlapping Consensus, 17). Selain itu, dibutuhkan good will memaslahatkan bangsa.

Konsepsi ”kebaikan bersama” yang dihasilkan bukan pendapat mayoritas atau sekadar titik temu argumentasi populer. ”Kebaikan bersama” dicapai saat ”doktrin solid” (doctrine solidifies) dan ada konsensus (John Courtney Murray, We Hold These Truths, 105). Itu berarti ”kebaikan bersama” bukan ”jumlah keseluruhan” (the sum), tetapi ”kesatuan” (the unity) dari partial goods. Meski kesatuan dari partial goods, ”kebaikan bersama” harus berjiwa pluralis (pluralist in structure) (John Courtney Murray, The Problem of State Religion, 158).

Artinya, ”kebaikan bersama” harus menjiwai spirit Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. ”Kebaikan bersama” berbeda dari partial good tiap kelompok agama, tetapi tidak boleh bertentangan dengan kepercayaan dan ajaran tiap kelompok. Syarat minimal ”kebaikan bersama”. Karena itu, menurut Franz Magnis-Suseno, harus bisa dijamin hak-hak kelompok minoritas.

Singkatnya, melalui prinsip ”kebaikan bersama”, jauh dari petaka bangsa, kehadiran pluralisme agama justru menjadi agen memaslahatkan bangsa.

Benyamin F Intan Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion and Society

[ Kembali ]

Revolusi Pengetahuan, Kemiskinan, dan Politik

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 27 Februari 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/27/00343997/revolusi.pengetahuan.kemiskinan.dan.politik

Oleh ARY MOCHTAR PEDJU

”Deng Xiao Ping and his allies identified technological progress as key to modernization, a ticket to military power and to economic growth and prosperity” (Oded Shenkar, The Chinese Century, Wharton School Publishing, 2006).

Tulisan ”Iptek, Politik, dan Politisi” (Ninok Leksono, Kompas, 25/2) amat mengena bila diperhatikan program-program dan iklan parpol/politisi di TV dan media lain yang tak pernah menyinggung topik iptek. Acara-acara itu mengesankan ilmu pengetahuan dan teknologi tak terkait masalah-masalah kemiskinan, ledakan penduduk, kesehatan, energi, lingkungan yang rusak, pemanasan bumi, jender, bahkan politik!

Tidakkah sebaiknya para caleg dan capres bersama pimpinan parpol bercita-cita lebih besar dan menjadikan tahun ini awal penciptaan piramida peradaban dan etika baru bangsa demi kehidupan yang bermartabat?

Kurva Maddison

Penelitian sejarawan ekonomi Angus Maddison menghasilkan dua kurva (2001), tentang ”Kemakmuran” manusia serta pertumbuhan penduduk dunia sepanjang 2000 tahun, mencerahkan.

Dari kurva pertama ternyata hampir sepanjang 20 abad, rata-rata manusia sedunia miskin, termasuk orang Eropa. Menjelang abad ke-19, barulah kurva GDP per kapita dunia rata-rata mulai menggeliat ke atas setelah terus mendatar dalam arti miskin, yakni kurang dari 1.000 dollar AS hingga sekitar 6.000 dollar AS tahun 2000 (lihat Tabel). Namun, dari 6.000 dollar AS rata-rata dunia ini, kontribusi terbesar adalah dari Eropa. Rata-rata Eropa sekitar 20.000 dollar AS.

Revolusi pengetahuan

Sejarah perkembangan pengetahuan Eropa sejak akhir periode Renaisans menunjukkan, interaksi dari berbagai cabang ilmu yang terjalin dalam sistem yang kompleks dengan perkembangan sosial dan budaya telah menyebabkan reaksi berantai yang saling mendorong maju.

Namun, banyak ilmuwan sepakat, revolusi sains (Principia Mathematica-nya Newton) abad ke-18, revolusi industri (diawali James Watt penemu mesin uap) abad ke-19, dan revolusi teknologi (dengan berbagai temuan baru) pada abad ke-20, adalah penyebab perubahan drastis kurva Maddison (terjadinya ketiga revolusi dalam sejarah ditandai tiga bulatan hitam dalam Tabel).

Hasil inovasi teknologi baru ini antara lain baterai listrik, telegraf, telepon, lampu Edison akhir abad ke-19, serta mobil, pesawat terbang, TV, komputer, dan material baru pada abad ke-20.

Revolusi teknologi yang berciri kecepatan tinggi dan ketepatan tinggi inilah yang mengefisienkan seluruh sistem ekonomi, sejak tahap input berupa pengadaan keahlian dan bahan baku, lalu tahap pemrosesan produk barang dan jasa, serta distribusi output-nya pada konsumen. Gerak orang dan barang dari satu tempat ke tempat lain untuk kepentingan perdagangan serta perpindahan uang mengalami kecepatan yang belum pernah dialami manusia. Lahirlah revolusi keempat, revolusi ekonomi, sambil revolusi teknologi terus berlangsung.

Kemiskinan

Selain kurva ekonomi itu, Maddison menghasilkan kurva kedua, yakni pertumbuhan penduduk dunia yang bentuknya menarik karena hampir identik dengan kurva pertama. Dengan menggunakan kurva yang sama (lihat Tabel), ternyata sepanjang 1.800 tahun jumlah penduduk dunia kurang dari 1.000 juta. Baru pada abad ke-19, kurva ini mulai melejit naik mencapai lebih dari 6.000 juta jiwa tahun 2000. Sesudah revolusi sains, industri, dan teknologi (iptek), ternyata jumlah penduduk dunia tumbuh secara fantastis.

Namun, dari 6.000 juta penduduk dunia, 85 persen adalah kontribusi dari penduduk miskin yang masyarakatnya—meminjam istilah Jeffrey Sachs—hanya menjadi technological adaptors (50 persen) dan technologically excluded (35 persen). Pertumbuhan penduduk masyarakat cerdas terkendali, sedangkan pertumbuhan penduduk yang tersisih karena penguasaan teknologi yang rendah sulit dikendalikan. Dari peta teknologi dunia (Sachs, 2002) terbukti di wilayah ini pula masyarakat miskin hidup berdesakan dalam kondisi kesehatan yang rendah.

Dengan informasi yang mengaitkan iptek, kemiskinan, kependudukan, dan ekonomi, kita bertanya bagaimana dengan bangsa Indonesia.

Sejarah kontemporer mengajarkan, kunci keberhasilan bangsa-bangsa Timur—India dan China—yang keduanya miskin, tegas memilih technology based development. Dengan usaha luar biasa dalam menguasai dan mengembangkan iptek, mereka berhasil menghapus ”kemiskinan absolut” dalam waktu singkat dalam jumlah tak terbayangkan. Sejak 1990, India membebaskan 200 juta rakyatnya dari kemiskinan, sedangkan China membebaskan 300 juta orang (Sachs, 2005)!

India mengembangkan teknologi elektronika-mikro, komputer dan komunikasi, yang lazim disebut teknologi informasi. Teknologi ini amat ampuh sehingga selama belasan tahun India tidak perlu membangun prasarana yang amat mahal pada awal pembangunan ekonominya. India mengekspor jasa (consulting) teknologi tinggi via satelit ke negara maju.

Dengan teknologi, India memindahkan banyak jasa keahlian profesional (di kantor, rumah sakit, sekolah, restoran, berbagai perusahaan) dari negara maju ke India, dengan waktu produksi yang sama (real time).

Sedangkan China selain mengutamakan iptek, mereka juga menciptakan konstruksi sosial baru yang mendukung percepatan penguasaan iptek dengan kekuatan hukum dan organisasi masyarakat. China menuntut keterbukaan iptek dalam setiap investasi asing untuk kepentingan alih teknologi (Shenkar). Partai politik dan Pemerintah China berperan besar dalam pembentukan budaya saintifik. Krisis keuangan global tentu berpengaruh pada kedua negara timur ini, tetapi peran teknologi, seperti filsafat Deng Xiao Ping pada awal tulisan ini tidak akan berubah banyak.

Belajar dari Barat, India dan China mengutamakan ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Indonesia dapat membuat terobosan baru, memanfaatkan momentum politik tahun ini.

Ary Mochtar Pedju Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI); Anggota Dewan Pakar Persatuan Insinyur Indonesia; Ketua Dewan Encona Inti Industri; Alumnus ITB dan MIT AS

[ Kembali ]

Minggu, 01 Maret 2009

Belum Ada Anggaran untuk "Trafficking"

PERDAGANGAN ORANG

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 27 Februari 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/27/00520461/belum.ada.anggaran.untuk.trafficking

Jakarta, Kompas - Meski Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang sudah terbentuk, hingga saat ini belum ada anggaran yang solid untuk mengatasi perdagangan orang atau trafficking. Padahal, korban perdagangan orang kian bertambah.

”Gugus Tugas belum ada penganggaran yang solid. Setiap pekerjaan ada dananya. Departemen Sosial menyediakan dana untuk trafficking sebesar Rp 2 miliar tahun 2008 dan Rp 3 miliar tahun 2009,” kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta Swasono seusai Rapat Koordinasi Tingkat Menteri tentang Perdagangan Orang di Jakarta, Kamis (26/2).

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie menyatakan, pemerintah memiliki sikap politik jelas, yakni melindungi warga negaranya yang ada di luar negeri. ”Kami berunding dengan Malaysia dan menjelaskan hukum-hukumnya. Harus dibedakan TKI ilegal dengan perdagangan orang,” katanya.

Berdasarkan laporan dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) tahun 2005-2007, mereka memulangkan 3.127 korban perdagangan orang baik di dalam negeri maupun luar negeri, seperti Malaysia, Singapura, Hongkong, Arab Saudi, Jepang, Kuwait, Suriah, Taiwan, dan Jordania. Dari 3.127 korban, lima orang adalah bayi, 801 anak, 2.321 dewasa, dan sebagian besar korban adalah perempuan (88,9 persen).

Akar permasalahan perdagangan orang adalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu, upaya penghapusan perdagangan perempuan dan anak harus sejalan dengan upaya penanggulangan kemiskinan, peningkatan pendidikan dan keterampilan, serta perluasan kesempatan kerja dan lapangan kerja.

Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia Irjen Hadi Atmoko menyebutkan, jumlah kasus perdagangan orang terus meningkat. Tahun 2004 ada 76 kasus, 2005 sebanyak 71 kasus, 2006 ada 84 kasus, 2007 ada 177 kasus dan sudah divonis 84 kasus, tahun 2007 ada 199 kasus, divonis 74 kasus. Pada umumnya mereka memalsukan data-data pribadi para korban. (LOK)

[ Kembali ]

Kasus Septi Dapat Dikategorikan sebagai Tindakan "Trafficking"

PENCULIKAN
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 23 Februari 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/23/00592898/kasus.septi.dapat.dikategorikan.sebagai.tindakan.trafficking


Jakarta, Kompas - Kasus dugaan penculikan yang menimpa Septi Suhartiningrum (11), siswi SDN 07 Tegal Alur, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, dapat dikategorikan sebagai trafficking. Guru besar kriminologi Universitas Indonesia Muhammad Mustofa yang ditemui di Depok, Sabtu (21/2), menegaskan, sejumlah variabel trafficking sudah terpenuhi dalam kasus yang menimpa Septi Suhartiningrum.

”Berdasar Konvensi Palermo tentang trafficking, sudah terpenuhi syarat dasar untuk menjerat tersangka sebagai pelaku trafficking. Sudah ada tindakan mengajak dan memberi iming- iming, memindahkan korban dari satu lokasi ke lokasi lain, serta menampung dalam arti memberi akomodasi selama korban berada dengan pelaku. Kondisi itu terpenuhi dalam kasus Septi,” kata Mustofa yang mendalami bidang trafficking dan kejahatan lintas batas negara (trans-national crime).

Secara terpisah, Sugiono (43), paman Septi Suhartiningrum yang ditemui di Gang Mete, Jalan Lingkungan III, Kelurahan Tegal Alur, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat, menduga keponakannya akan diculik.

”Kalau mau dirampas perhiasannya, kenapa tidak dilakukan meski ada kesempatan selama dua jam lebih dan sempat berada di tempat-tempat sepi. Waktu saya dapati, tersangka menggandeng keponakan saya mau diajak ke seberang Jalan Daan Mogot untuk mencegat angkutan umum arah Tangerang,” kata Sugiono.

Kejanggalan tersebut juga diungkapkan Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Cengkareng Inspektur Satu Robinson Manurung, yaitu tersangka Rizka Amelia (39) tidak melucuti perhiasan korban.

”Kami sedang mendalami kasus ini. Laporan lain tentang dugaan kejahatan kawanan tersangka di sekitar daerah itu juga sudah diterima polisi. Kami belum berhasil menangkap anggota komplotan lain yang terus diburu,” kata Manurung.

Menurut Manurung, pihaknya masih menjajaki pelbagai kemungkinan dalam kasus tersebut. Dia belum berani memastikan apakah kasus itu sudah tergolong penculikan dan trafficking karena polisi tidak bisa sembarang menerapkan pasal dalam sebuah kasus.

Kriminolog Muhammad Mustofa berharap polisi tidak sekadar menggunakan pendekatan yuridis formal dalam menangani kasus Septi. ”Bujukan sudah termasuk dalam salah satu unsur dalam rumusan trafficking.”

Septi Suhartiningrum yang ditemui di rumah orangtuanya mengaku diberi bermacam-macam janji oleh Rezki Amelia yang mendatangi dirinya seusai mengaji di seberang SDN 07 Tegal Alur, tempat Septi bersekolah.

”Selanjutnya saya ditepuk dan seperti tidak bisa menolak permintaan ibu itu lalu hanya menurut ketika diajak. Saya dijanjikan dibelikan jajan di mal dan baju baru,” kata Septi.

Sebelumnya, seorang teman Septi bernama Novia Sri Yamini (11) juga ikut. Namun, sewaktu angkutan umum yang ditumpangi mereka berhenti di Gang Tempe, masih di Tegal Alur, Novia turun dan meninggalkan Septi serta Rizka. (Ong)

[ Kembali ]

Penantian dan Harapan

Oleh AHMAD ARIF dan C WAHYU HARYO PS

Diunduh dari Harian Kompas, Jumat, 23 Januari 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/23/0208229/penantian.dan.harapan

Dari Gerbang Lintas Batas Entikong, perjalanan Santi memasuki Malaysia bermula. Ke Entikong pula, Santi kembali dari Malaysia—negara jiran yang memberinya kenangan pahit.
Kamis, 21 Agustus 2008, pukul 12.15 waktu setempat. Mobil Konsulat Jenderal Republik Indonesia (Konjen RI) di Kuching tiba di Kantor LSM Anak Bangsa di Entikong, membawa 23 tenaga kerja Indonesia yang dipulangkan. Santi ada dalam rombongan itu.
”Ketika dia baru datang ke Entikong, tubuhnya lemah. Matanya sayu,” kata Rasinah, Direktur LSM Anak Bangsa. Sejak didirikan oleh Arsinah pada 14 Januari 2004, LSM Anak Bangsa telah menjadi persinggahan korban deportasi yang dikirim oleh Konjen RI di Kuching, sebelum dipulangkan ke kampung halaman masing-masing.
”Saya sudah biasa menampung TKI. Ada yang sampai gila, tubuh penuh luka, tangan atau kaki patah. Santi juga depresi, tapi anak ini kuat. Dia bertekad mencari pelaku yang menghancurkan masa depannya,” kata Arsinah. Pada hari itu juga Santi melaporkan kisahnya pada Polsek Entikong.
”Kami lalu memburu orang bernama Udin, yang disebut-sebut Santi sebagai orang yang membawanya ke perbatasan dan menyerahkannya kepada Helen. Banyak nama Udin di sini,” kata Kapolsek Entikong Ajun Komisaris Miko Indrayana.
Hari demi hari berlalu sangat panjang dan melelahkan bagi Santi. Ancaman dan teror diterima Santi. Teror juga dialami Rasinah, yang menampung Santi di rumahnya yang sekaligus rumah singgah TKI itu.
”Suatu hari datang orang dari (penginapan) Tini Jaya ke rumah. Dia memaki-maki saya dan Santi. Pernah juga ada telepon yang mengancam agar Santi mencabut laporannya ke kantor polisi. Seorang penelepon itu mengaku dari Mabes Polri di Jakarta. Saya tak percaya, tapi tetap saja takut,” kata Arsinah.
Penantian membuat Santi hampir putus asa. Rabu, 10 September 2008, dia sudah bersiap pulang ke Lampung. Ditemani Arsinah, dia ke Polsek Entikong untuk mencari surat jalan ke Lampung. Salah satu anggota reserse kriminalitas Polsek Entikong meminta Santi untuk menunggu sebentar.
”Kami penasaran untuk mengungkap kasus ini. Lalu anggota saya memanggil empat orang Entikong bernama ’Udin’ untuk dikenali,” kata Miko Indrayana.
”Santi langsung menjerit dan menangis sambil menunjuk salah seorang lelaki, yang ternyata bernama Nurdin itu. Dia asli Sumbawa, tapi sudah beberapa tahun terakhir di Entikong. Biasa tinggal di Tini Jaya,” tambahnya. Nurdin pun akhirnya mengaku telah menyeberangkan Santi dan tiga perempuan lain ke Malaysia pada awal Juni 2008.
Namun, Kepala Desa Entikong Markus Sofyan mengaku tak tahu dengan warganya yang bernama Nurdin itu. Markus juga terdiam saat ditanya tentang Tini Jaya. ”Saya tidak berani banyak bicara tentang mereka,” kata Markus.
Dari Nurdin, polisi lalu menemukan nama Kum Seng, atau yang dikenal Santi sebagai Chong Kum Seng, warga Malaysia.
Hari-hari melelahkan kembali dialami Santi. Dia kembali menunggu. Dan, penantiannya ternyata tidak sia-sia. Tanggal 3 Desember 2008, lelaki yang dikenal Santi bernama Kum Seng dibekuk polisi di Bandara Supadio, Pontianak. ”Dia bermaksud terbang ke Malaysia saat ditangkap,” kata Miko Indrayana.

Mata rantai
Lelaki itu, Chong Kum Seng (49), berwajah dingin. Nada bicaranya tenang dan pelan. Warga negara Malaysia, yang lahir di Bentong, Pahang, ini juga memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Singkawang atas nama M Hidayat.
”Saya baru bekerja dua tahun ini. Sejak tahun 2007 baru sekitar seratus orang yang saya kirim ke Malaysia. Di sana ada yang menampung. Untuk setiap orang yang saya kirim, saya dapat 1.700-2.500 ringgit Malaysia (sekitar Rp 5 juta-Rp 7 juta) dari agen di Malaysia,” kata Kum Seng, yang ditemui di Kantor Polres Sanggau.
Seorang mantan pemasok calon TKI ke Malaysia di Entikong—yang tak mau disebut namanya—mengaku telah mengenal Kum Seng sejak tahun 2001. ”Dia orang lama, tetapi dia bukan yang terbesar. Kalau masih mencari sendiri korbannya, tentu bukan yang paling besar kan?” kata lelaki asal Jawa ini, yang pada periode 2001 hingga 2004 biasa memasok perempuan ke Malaysia hingga 60 orang per hari.
”Pasti Kum Seng bisa memasok lebih besar lagi karena dia punya jaringan di Jakarta. Kalau saya hanya main di Kalbar saja,” kata dia.
Kum Seng mengaku membayar Rp 2 juta-Rp 3,5 juta per orang kepada para pemasok di Jakarta. ”Saya biasa mendapat perempuan dari Eka. Saya juga mendapat Santi dari Eka. Saya biasa menemui dia di Cimanggis atau Cibubur,” katanya.
Dalam pertemuan kami dengan sejumlah korban trafficking yang ditampung Konjen RI di Kuching, nama Eka juga berkali-kali disebut. Surti—sebut saja begitu—seorang korban yang berasal dari Indramayu, Jawa Barat, mengaku direkrut oleh seorang agen TKI berasal dari Jatibarang bernama Ato yang datang ke kampungnya pada Juni 2008. Dia kemudian diserahkan kepada Eka di Cimanggis.
”Eka itu orangnya kecil, cantik. Dia yang mengirim saya ke Pontianak. Saya dijanjikan bekerja sebagai pelayan restoran di Kuching,” kata Surti. Dari Pontianak Surti juga diselundupkan melalui Entikong.
”Eka diduga menjadi bagian dari sindikat perdagangan orang lintas negara, yaitu Malaysia-Indonesia,” kata Kepala Kepolisian Resor Sanggau Djoni M Siahaan.
Untuk mendapatkan korbannya, Eka dibantu jaringan yang tersebar di berbagai daerah, terutama di Jakarta, Jawa Barat, dan Lampung. Mereka menjaring korban ke kampung-kampung. Para calon korban dijanjikan bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau pelayan restoran. Sebagian anggota jaringan ini tak segan menculik untuk mendapatkan korbannya, terutama korban yang masih anak-anak.
Sindikat ini menggunakan sistem sel karena mereka terkadang tidak saling mengenal orang- orang di atasnya. ”Siapa kelompok yang menculik Santi, masih jadi tanda tanya. Di bawah Eka, banyak pelaku lain yang masih misteri. Eka kemungkinan juga memiliki banyak kaki tangan,” tambah Djoni.
Atau, mungkinkah di atas Eka ada pemain yang lebih besar lagi? Lalu, siapa Nurdin dan siapa di balik keberadaan ”penginapan” Tini Jaya?
”Ini orang yang membawa saya lewat perbatasan Entikong,” kata Surti menunjuk foto Nurdin yang kami sodorkan padanya. ”Dia membawa saya dengan sedan warna kuning, bernomor polisi Malaysia,” tambahnya.
Sepulang dari Kuching, Senin (12/1), kami lewat ke penginapan Tini Jaya. Sebuah mobil sedan warna kuning bernomor polisi Malaysia diparkir di penginapan itu.
”Penginapan Tini Jaya memang dipakai transit Santi, dan mobil di Tini Jaya itu juga yang dipakai Nurdin menyelundupkan Santi ke Tebedu. Namun, belum ada bukti kuat yang menghubungkan keterlibatan Tini—pemilik Tini Jaya—dalam kasus Santi. Sejauh ini dia masih menjadi saksi,” kata Miko Indrayana.

Pulang
Mata rantai sindikat perdagangan orang ini belum terbongkar. Polisi ditantang untuk bekerja keras menguak tabir ini. ”Saya ingin semua orang yang terlibat ditangkap. Mereka yang merusak masa depan saya,” kata Santi.
Santi tiba-tiba teringat pada Helmi. ”Di mana dia sekarang? Kasihan dia,” katanya. Kenangan pada Helmi akhir-akhir ini kerap menghantui Santi.
”Saya mau jadi polisi. Saya ingin menangani kasus trafficking,” Santi berandai-andai. Gadis cilik itu kemudian bercerita banyak tentang mimpi-mimpinya, tentang harapan-harapannya di masa mendatang.
Orang-orang yang menculiknya, menjual, memukul, dan memerkosanya ternyata tak bisa meraih jiwanya. Jiwa gadis yang berasal dari pedalaman Lampung—sekitar tujuh jam perjalanan dari Bandar Lampung—ini masih bebas berkelana. ”Saya mau pulang, mau sekolah lagi. Baju sekolah, sepatu, dan tas saya masih ketinggalan di Malaysia, tapi saya tak mau lagi ke sana,” kata Santi.

[ Kembali ]

Menanti Hari Pembebasan

Oleh AHMAD ARIF dan C WAHYU HARYO PS

Diunduh dari Harian Kompas, Jumat, 23 Januari 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/23/02100521/menanti.hari.pembebasan

Hari hampir malam ketika Santi dan ketiga perempuan lainnya sampai ke Kuching. ”Saya dibawa Helen, dan Helmi dibawa oleh anak buahnya yang lain,” kisah Santi. Itulah terakhir kali ia melihat Helmi. ”Helmi menangis saat dibawa,” kata Santi.
Santi langsung dibawa ke salah satu gedung di kompleks ruko Chong Lin Park. Seorang ”tamu” telah menunggu Santi di sana.
Santi disodori tank top warna merah jambu. Sebuah pukulan mendarat di punggungnya ketika dia menolak memakainya.
”Ada tamu yang menunggu. Jadi cepatlah,” bentak Helen.
Santi tetap menolak. Dia diikat, lalu diperkosa sang tamu. ”Saya dengar dia sudah membayar 5.000 ringgit kepada Helen untuk bisa memerkosa saya,” kata anak usia 15 tahun itu, dengan mata berkaca-kaca.
Minggu malam, 8 Juni 2008, malam itu adalah hari pertama bagi Santi di Kuching, Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Hari pertama yang tak pernah bisa ia lupakan. Malam-malam berikutnya dilalui Santi dengan melayani hingga 10 tamu tanpa diberi hari libur.
”Saya tidak pernah dibayar. Hanya kadang mendapat uang tip dari tamu. Saya menghitung hari, meminta keajaiban kepada Tuhan untuk dibebaskan dari tempat itu,” kata Santi.
Beberapa kali dia memohon pertolongan kepada pelanggan yang kelihatan bersimpati. Dia bermaksud meminjam telepon seluler untuk menelepon ibu atau ayahnya di Lampung.
”Semua menolak, bahkan oleh beberapa pelanggan yang saya tahu dia orang Indonesia. Kadang ada juga pelanggan polisi Malaysia, saya cerita tentang nasib saya. Mereka diam saja. Mungkin mereka tak percaya atau sudah diberi uang oleh Helen,” kata Santi.
Di ruko tiga lantai itu, menurut Santi, terdapat tak kurang dari 50 perempuan. Semuanya dari Indonesia. Di lantai bawah ada etalase untuk memajang perempuan-perempuan itu. Tamu kemudian membawa pergi setelah memilih pasangan, sebagian menyewa kamar di lantai tiga.
Santi kemudian bersiasat. Dia pun mencoba menurut kemauan para samseng, istilah setempat untuk menyebut tukang pukul. ”Saya berbaik-baik dan terkadang melayani dia. Akhirnya saya diberi handphone,” kata dia.

Pembebasan
Setelah memperoleh telepon genggam itu, semangat hidup Santi terpompa. Santi menelepon keluarganya. Dia juga meminjamkan teleponnya kepada korban trafficking lainnya, Lusi (37)—bukan nama sebenarnya— yang mengaku memiliki saudara di Departemen Luar Negeri.
”Keluarga Lusi memiliki saudara di Kedutaan Besar RI di Perth, Australia. Seorang staf Kedubes RI di Perth kemudian menelepon kami di Konsulat Kuching. Dari sanalah kami mendapat info tentang Santi dan beberapa perempuan asal Indonesia yang disekap dan dijadikan pelacur,” kata Komisaris Hendra Wirawan, Perwakilan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di Kuching.
Hari itu juga Hendra menemui rekannya di Kepolisian Diraja Malaysia. Sang komandan sendiri yang turun tangan menggelar operasi itu. ”Operasi itu kami lakukan dengan sangat rahasia untuk mencegah bocornya informasi ke sindikat penculik,” kata Hendra.
Rabu, 16 Juli 2008, pukul 13.00, beberapa Polisi Diraja Malaysia dan Hendra mendatangi salah satu ruko di Kawasan Chong Lin Park di Jalan Tabuan, Kuching. Santi ditemukan di dalam kamar itu dengan Lusi (37) dan Rin (17). Namun, Helen kabur melalui atap.
Jalan menuju kebebasan, seperti ditempuh Santi, adalah keajaiban. ”Mencari perempuan korban trafficking seperti mencari jarum di tumpukan jerami,” ujar Hendra.
Sindikat perdagangan orang ini sangat rapi. Perempuan yang mereka pekerjakan hampir tak memiliki akses untuk bebas. ”Ke mana-mana kami dikawal samseng. Bahkan, saat dibawa tamu ke hotel, samseng-samseng itu menunggu di lobi. Lagi pula kami mau kabur ke mana? Kami tak punya paspor,” kata Santi.
Sari (21)—juga bukan nama sebenarnya—memberi kesaksian serupa. Enam bulan dia disekap di salah satu gedung di Lorong I Jalan Kepayang, Taman Ros, Kuching. ”Kami dipaksa menjadi pelacur. Samseng selalu mengawasi kami. Bahkan, ketika kami tengah melayani tamu, mereka menunggu di depan pintu,” kata dia.
Sari dan tujuh perempuan Indonesia lainnya bebas setelah polisi Malaysia menggerebek tempat penyekapan mereka pada Jumat (9/1). Timbalan Pesuruhjaya Polis Serawak SAC II Datuk Hamzah Taib dalam konferensi pers yang dikutip oleh harian Eastern Times dan The Borneo Post, Sabtu, mengatakan, korban- korban itu dipaksa menjadi pelacur dalam kurun empat bulan hingga setahun. Kedelapan korban ditemukan disekap di kamar kecil.
Dua lelaki Malaysia berusia 27 dan 28 tahun juga ditangkap dalam penggerebekan itu. Mereka dipercaya sebagai anggota sindikat perdagangan manusia antarnegara.
”Ini merupakan kasus pertama sindikat pelacuran melibatkan warga asing yang terungkap tahun ini atau ketiga sejak Human Trafficking Act di negara ini ditandatangani pada tahun 2007,” kata Datuk Hamzah Taib.

Chong Lin Park
Minggu pagi, 11 Januari 2009. Kawasan Chong Lin Park di Jalan Tabuan itu sepi. Mobil-mobil diparkir di halaman gedung. Ada 11 gedung yang terpisah di kompleks ini. Semuanya berlantai tiga. Beberapa poster menawarkan jasa pijat dari Indonesia tertempel di salah satu dinding bangunan.
Di salah satu gedung inilah Santi pernah disekap dan dilacurkan. Seorang lelaki mengawasi kami penuh selidik begitu kami turun dari mobil dan menuju bangunan lantai tiga di bagian pojok belakang kompleks pertokoan ini. Lorong tangga menuju bangunan di lantai tiga itu sunyi dan temaram.
Tangga dari beton itu berujung pada dua pintu berterali besi yang digembok, melapis pintu kayu yang juga terkunci rapat. Dua sandal berada di depan pintu. Suara-suara dari dalam bangunan sayup terdengar.
”Itu bekas linggis kami saat penggerebekan Agustus 2008,” kata Hendra menunjuk bekas goresan di pintu besi. ”Entahlah, siapa penghuni apartemen itu sekarang. Mungkin Helen kembali atau mungkin juga ada penghuni baru,” kata Hendra.
Kami bergegas pergi. Mobil sedan warna hitam terus menguntit kami hingga kami keluar dari kompleks itu dan meluncur di Jalan Tabuan.
”Masih banyak ’anak-anak’ dari Indonesia di sana. Mereka juga disekap, tak bisa keluar,” kata-kata Santi itu terngiang di kepala kami saat meninggalkan Chong Lin Park pagi itu.
Menurut Hendra, tak hanya di Chong Ling Park, korban-korban trafficking juga tersebar di banyak tempat lain di Kuching. Ribuan perempuan Indonesia diduga terjerat sindikat perdagangan manusia antarnegara. Mereka disekap dan dilacurkan di sudut- sudut gelap kota-kota di Malaysia....

[ Kembali ]

Menuju Entikong

Oleh AHMAD ARIF dan C WAHYU HARYO PS

Diunduh dari Harian Kompas, Jumat, 23 Januari 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/23/02120899/menuju.entikong

Roda pesawat memukul landasan pacu. Santi—bukan nama sebenarnya—terbangun dari tidur panjang. Seorang gadis yang duduk di sebelahnya menjejalinya dengan tanya, ”Kenapa kita di sini? Kamu Santi, kan? Bukankah kita satu sekolah?”
Santi mengenali gadis itu sebagai Helmi, adik kelasnya di satu SLTP di Bandar lampung. Pertanyaan-pertanyaan Helmi semakin membingungkan ”bocah” usia 15 tahun ini.
Keluar dari pesawat, Santi berada di sebuah bandara yang asing. Tak ditemukannya rekam jejak perjalanannya, selain tiket pesawat Batavia Air dari Jakarta ke Pontianak bertanggal 7 Juni 2008, yang berada di kantong sakunya.
”Kenapa saya sampai di sini?” Santi mengulang pertanyaan Helmi. Sebuah tanya pada dirinya sendiri.
Gadis kecil berkulit putih itu kebingungan dan mencoba menyusun keping ingatannya. Pagi itu, 4 Juni 2008. Seperti pagi biasa, Santi menunggu angkutan umum ke sekolah. Tiba-tiba datang lima lelaki berpenutup muka. Mereka membekapnya dan langsung memasukkannya ke dalam mobil.
Waktu tiba-tiba berhenti ketika jarum suntik—yang kemungkinan obat bius—menghujam lengannya. Kemudian, hari-hari menjadi berkabut dan gelap bagi Santi, hingga pagi itu, ketika roda pesawat memukul landasan pacu Bandara Supadio di Pontianak.
Ketika mendarat di Pontianak, Santi masih memakai seragam sekolah yang dibalut sweater kuning, lengkap dengan jilbab yang biasa dipakainya. Santi dan Helmi masih dibekap bingung ketika seorang perempuan yang mengaku bernama Ana, yang sama- sama turun dari pesawat, menuntun mereka keluar dari bangunan Bandara Supadio.
Seorang lelaki paruh baya kemudian mendekat begitu mereka keluar dari pintu kedatangan. Dia bertanya, ”Mau ke mana Neng?” ”Saya mau pulang ke Lampung, tetapi hanya punya uang 50.000,” Santi menimpali.
Ana, yang sepertinya sudah mengenal lelaki itu, kemudian menggandeng Santi dan Helmi mengikuti ajakan lelaki—yang mengenalkan diri sebagai Kum Seng—untuk sarapan. Santi, Helmi, Ana, dan seorang perempuan lagi yang bernama Bunda, yang juga satu pesawat dengan mereka, kemudian meninggalkan Bandara Supadio dengan mobil Kum Seng.
”Umurnya seusia bapak saya. Awalnya, dia ramah dan seperti mau membantu kami. Tetapi, setelah di mobil, dia mulai mengancam akan membunuh kami jika tak mau menurut,” kisah Santi tentang peristiwa itu.
Kum Seng langsung membawa mereka ke Terminal Bus Batu Layang, Pontianak. Tiga lelaki sudah menunggu di sana dan langsung membawa mereka naik bus jurusan Entikong.
”Di bus kami dijaga terus. Turun di warung untuk makan dan kencing juga dikawal. Mereka mengancam akan membuang kami di hutan jika tak mau menurut,” kata dia.
Di perjalanan, Helmi bercerita kepada Santi bahwa dia diculik ketika mandi di sungai pada 4 Juni 2008 pagi. Seperti Santi, kesadarannya langsung hilang ketika dimasukkan ke dalam mobil dan jarum suntik menembus kulit lengannya.
Malam menjelang saat bus itu tiba di Entikong, semua penumpang sudah turun, kecuali Santi dan tiga perempuan lainnya. Bus itu mengantarkan keempat perempuan ini ke penginapan Tini Raharja atau yang lebih dikenal sebagai Tini Jaya di Entikong.
Seorang lelaki berwajah khas dari Indonesia bagian timur, dengan sorot mata tajam, sudah menunggu mereka. Keempat perempuan ini segera dibawa ke kamar penginapan di lantai dua.
”Awas, kalian jangan macam- macam,” ujar lelaki bernama Nurdin itu mengancam.
Keinginan untuk kabur menguat. Tetapi, Santi kehilangan daya dan keberanian. ”Saya tak tahu ada di mana. Sebelumnya tak pernah mendengar tentang Entikong. Sementara Helmi hanya menangis,” kata Santi.

Disekap
Pada Kamis siang, 8 Januari 2009, warung makan di pusat Entikong itu sepi. ”Biasanya ramai. Banyak tentara yang makan di sini,” kata seorang pelayan. Maklum saja, warung makan sekaligus penginapan itu terletak persis di sebelah Kantor Koramil Entikong dan 200 meter markas Batalyon Lintas Batas.
Kami menanyakan kepada pelayan tempat untuk menginap. Gadis belasan tahun itu mengaku tidak tahu. ”Tanya saja sama dia,” kata gadis itu menunjuk kepada lelaki yang tengah bermain tenis meja di sisi meja makan.
Tak ada papan nama penunjuk penginapan di Tini Jaya. Tak banyak yang tahu di sana ada penginapan. ”Saya baru tahu kalau di Tini Jaya ada penginapan. Saya pikir hanya warung makan,” kata Pastor John Edi, yang sudah delapan tahun bertugas di Entikong.
Lelaki itu bernama Ade, mengaku sebagai adik pemilik warung makan Tini Raharja, yang ternyata sekaligus berfungsi sebagai penginapan. Dia menyebutkan, tarif menginap sebesar Rp 40.000 semalam.
Dia membawa kami ke bagian belakang restoran, lalu naik tangga ke lantai dua. Sore itu, suasana penginapan sangat sepi. Hampir semua kamar gelap.
”Ada 18 kamar, silakan dipilih, Mas. Hanya saja, kamar mandinya di luar,” kata Ade, sambil membuka salah satu kamar di bagian depan, yang menghadap Kantor Koramil Entikong.
Kami meminta untuk dibawa ke deretan kamar yang bersebelahan dengan kamar mandi. ”Kenapa kamar yang itu?” tanya Ade.
Kami beralasan ingin dekat dengan kamar mandi. Empat kamar saling berhadapan, digembok dari luar. Ade mencoba membuka gembok salah satu kamar itu. Namun, pintu tetap tak bisa dibuka.
”Pintu-pintu di sini banyak yang rusak. Kadang ada pengunjung yang merusak daun pintu dari dalam,” kata Ade.
Ketika ditanya, mengapa dirusak, Ade hanya bungkam sambil geleng kepala. Pintu kamar itu terbuka setelah Ade mencongkelnya. Di dalam kamar berukuran 3 x 3 meter itu ada satu ranjang ukuran besar, lampu yang redup, dan kipas angin yang suaranya berderak saat dinyalakan.
Di salah satu kamar itulah Santi pernah diinapkan selama semalam sebelum diseberangkan ke Malaysia. ”Saya masih ingat, kamarnya dekat kamar mandi. Digembok dari luar. Kami harus mengetuk pintu kalau mau kencing,” kisah Santi.

Perlintasan
Bagi Santi, Entikong memang kata asing. Tetapi, bagi para agen-agen TKI, Entikong—masuk di wilayah Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat—adalah nama yang sangat dikenal selain Nunukan di Kalimantan Timur. Entikong adalah gerbang menuju Malaysia. Di kota ini, penginapan dan tempat penampungan calon TKI tumbuh menjamur. Pemilik penginapan tak peduli siapa tamunya.
Pukul 22.00 kami datang ke Hotel Bintang Kiki, hotel terbaik di Entikong. Saat kami meminta kamar, resepsionis langsung memberi kunci dan menyebut tarifnya Rp 110.000 per malam. Dia sama sekali tak meminta identitas, menanyakan nama, maupun alamat.
”Dulu, di dekat rumah saya, ada seorang penampung TKI, tiap minggu ada puluhan TKI yang datang. Tahun 2005 dia ditangkap karena ketahuan menyelundupkan anak di bawah umur ke Malaysia,” kata Kepala Desa Entikong Markus Sopyan. ”Penginapan lain yang seperti itu masih banyak. Kami belum punya data pasti,” kata Markus.
Entikong, adalah surga bagi pelaku trafficking. Di kota ini, sebagian korban diinapkan sebelum kemudian dijual ke Malaysia. Santi adalah salah satunya....

[ Kembali ]

Dijual ke Malaysia

Diunduh dari harian Kompas, Jumat, 23 Januari 2009
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/01/23/02110525/dijual.ke.malaysia

Oleh AHMAD ARIF dan C WAHYU HARYO PS

Gerbang di pos perbatasan Entikong itu terbuka lebar. Minggu, 8 Juni 2008, pukul 07.00. Mobil Kijang Innova warna merah bernomor polisi KB 1527 HP yang disopiri Nurdin merayap pelan. Empat penumpangnya perempuan, salah satunya Santi.
Keempat penumpang tersebut tak memiliki paspor, tetapi tak ada petugas yang menghentikan mobil milik Tini Raharja itu. ”Saya sudah kenal dengan petugas- petugas imigrasi, jadi tak diperiksa. Biasa itu,” kata Nurdin.
Mobil itu meluncur bebas di zona netral Indonesia-Malaysia. Melalui pos perbatasan Tebedu di Negara Bagian Sarawak, mobil kembali merayap perlahan. Tak juga ada pemeriksaan dari petugas imigrasi Malaysia. Dua mil dari pos Tebedu ke arah Kuching, mobil berbelok ke stasiun pengisian bahan bakar umum, berhenti di tempat pengisian angin.
Mobil bernomor polisi Malaysia sudah menunggu di sana. Lelaki bermata sipit dan berperawakan tinggi segera memindahkan keempat perempuan itu ke mobilnya setelah memberi sejumlah uang kepada Nurdin. ”Saya dibayar 100 ringgit (Malaysia) per orang oleh Helen,” kata Nurdin, menyebut nama lelaki yang menjemput Santi dan tiga temannya itu.
Gerbang lintas batas Entikong- Tebedu menjadi jalur favorit bagi sindikat perdagangan orang untuk menyelundupkan korbannya. Mina (23)—bukan nama sebenarnya—yang ditemui di Konsulat Jenderal RI Kuching mengisahkan, dia masuk ke Sarawak pada awal Febuari 2008. Seperti Santi, Mina yang berasal dari Putussibau, Kalimantan Barat, ini tak perlu paspor untuk melewati pos perbatasan Indonesia-Malaysia itu. Dia dibawa oleh Diana dan Tus, keduanya warga Entikong.
”Saya dibawa menggunakan mobil Kijang Innova warna merah,” kata dia.
Mobil itu berhenti di SPBU di Tebedu dan selanjutnya ia dinaikkan ke truk bernomor polisi Malaysia, tetapi sopirnya orang Indonesia. Truk itu membawanya hingga ke salah satu halte antara Tebedu dan Serian. Di sana sudah menunggu mobil Helen.
”Saat dibawa Helen, kami sempat melewati pemeriksaan polisi Malaysia. Saat itu saya lihat Helen menyerahkan uang di tas plastik kepada polisi Malaysia,” kata Mina.
Kesaksian yang sama diberikan Yeni (19). Gadis mungil ini masuk ke Malaysia pada November 2007, dibawa oleh agen TKI bernama Rita dari Pontianak. ”Saya masuk tidak pakai paspor. Rita yang membawa saya, yang sepertinya sudah kenal dengan petugas di sana,” katanya.
Jalur lain
Tak hanya melalui gerbang pos lintas batas Entikong, anggota sindikat perdagangan manusia ini biasa menggunakan jalur-jalur tikus di sepanjang perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Pulau Kalimantan yang panjangnya mencapai 2.004 kilometer. Mereka memanfaatkan celah penjagaan dan patroli tentara perbatasan kedua negara.
Bahkan, persis di samping gerbang lintas batas Entikong juga terdapat jalur tikus itu. ”Minggu lalu kami menangkap warga Entikong yang menyelundupkan orang melalui jalur tikus yang berada persis di samping gerbang pos perbatasan,” kata Kepala Polsek Entikong Komisaris Miko Indrayana.
Rini (16) dan Lisa, juga bukan nama sebenarnya, mengaku dibawa masuk ke wilayah Malaysia melalui Jagoibabang di Kabupaten Bengkayang, Kalbar. ”Kami naik ojek lewat hutan,” kata perempuan asal Sanggau ini.
Adapun Rani (21), perempuan dari Cianjur, Jawa Barat, mengaku lewat daerah Sambas dan menembus ke Serawak di wilayah Serikin. ”Saya dipaksa jalan kaki seharian lewat hutan,” kata Rani.

Menjadi dagangan
Begitu memasuki Malaysia, para perempuan yang masuk tanpa paspor ini telah menjadi barang dagangan, yang mudah dipindahtangankan dari satu penjaja ke penjaja lainnya.
Mina, misalnya, awalnya ditampung Helen di Jalan Stampin Lorong 5A, Kuching. Selanjutnya dia dijual ke Asun dan dipaksa menjadi pelacur.
”Saya tidak tahu berapa Helen menjual saya ke Asun,” kata dia.
Adapun Yeni, setelah masuk Malaysia, ditampung sementara oleh seorang agen. Ia dibuatkan izin kerja di Malaysia. Setelah memiliki izin kerja, ia dipekerjakan dari satu majikan ke majikan yang lain tanpa dibayar selama dua tahun.
”Agen itu berkata bahwa saya berutang biaya pengurusan permit serta biaya pembelian dari Rita. Saya tak tahu berapa jumlahnya,” kata dia.
Setelah berpindah-pindah kerja, ia pun dibawa agen itu ke tempat Alung dan dipaksa sebagai pelacur.
Lain lagi kisah Rini. Begitu sampai ke Malaysia, dia diserahkan oleh Lisa—orang Sanggau yang membawanya melewati perbatasan—kepada Abu, warga Malaysia yang tinggal di Batu Sembilan, dan segera dioper ke Alung. Oleh Alung, Rini ditampung di Lorong Satok, Jalan Kepayang, Taman Rose, dan dipaksa menjadi pelacur selama setahun ini. Untuk sekali berkencan, tarifnya 250 ringgit (Malaysia) dan dalam sehari dipaksa melayani 2-3 orang. ”Namun, saya belum pernah mencicipi uang itu. Semua diambil Alung dengan alasan dia sudah membeli saya dari Abu,” kata Rini.
”Semua pintu dan jendela dikunci. Kami keluar hanya pada saat bekerja atau berbelanja. Itu pun ke mana-mana dikawal dan diawasi,” kata dia.
Di Malaysia, perempuan-perempuan ini tanpa perlindungan hukum. Posisi mereka sangat lemah di mata hukum negara itu karena mereka dianggap sebagai pendatang haram alias masuk tanpa dokumen resmi. Kalaupun awalnya mereka memiliki paspor dan izin kerja, dokumen-dokumen itu telah dirampas agen dan majikan.
Penelitian Institut for Ecosoc Rights tahun 2008 tentang ”Kebijakan Ilegal Migrasi Buruh Migran dan Mitos Pembaharuan Kebijakan” memaparkan, posisi tawar pekerja migran Indonesia di Malaysia lemah karena adanya MOU Indonesia-Malaysia yang mengizinkan majikan menahan paspor pekerja dari Indonesia. Kebijakan inilah yang makin menyuburkan trafficking. Banyak TKI yang semula legal menjadi ilegal ketika mereka lari dari majikan yang menindas.
”Kami sebenarnya takut ditangkap polisi Malaysia. Banyak teman yang ketangkap polisi dijual kembali ke germo,” kata Rita.
Lisa (19), perempuan asal Landak, Kalbar, menuturkan, awalnya ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Kuching. Karena sering disiksa majikan, dia memutuskan lari. Dalam pelariannya, ia bertemu dengan lelaki yang mengaku sebagai anggota polisi bernama Tiagu.
”Tiagu berwajah seperti orang India, dia berseragam polisi. Alung menyebutkan, saya berutang kepada dia 2.800 ringgit. Itu harga saya yang dibayarkan ke Tiagu,” ujar Lisa.
Seli (23) juga memiliki pengalaman serupa. Pada tahun 2005, dia dibawa ke Malaysia oleh pamannya sendiri bernama Lamit. Oleh pamannya, ia dibawa ke tauke Malaysia bernama Akhau. Di sana ia dibuatkan permit kerja dan dipekerjakan di salah seorang majikan di Johor untuk menjaga nenek-nenek. Selama bekerja 11 bulan, ia tidak menerima upah sepeser pun karena gajinya ditahan Akhau.
Oleh Akhau, ia kemudian dipindahkan ke Sabah sebagai pembantu rumah tangga selama enam bulan dan lagi-lagi tidak digaji. Dari sana ia dipindahkan bekerja di kedai. Hampir setiap hari dipukul. Delapan bulan bekerja di kedai itu, akhirnya dia melarikan diri. Dalam pelariannya, dia bertemu dengan Tiagu (orang yang sama yang menangkap Lisa). Seperti Lisa, oleh Tiagu dia juga dijual kepada Alung.
Kisah tentang perempuan-perempuan yang diperdagangkan ini mengingatkan pada era silam tentang perbudakan manusia. Begitu banyak tangan yang terlibat dan di atas semua itu pemerintah dua negara seperti bungkam, bahkan terkesan menutup mata terhadap perbudakan gaya baru ini....

[ Kembali ]